Oleh Agus Dermawan T.
Membicarakan sosok Cak Kandar sama saja membicarakan segumpal ethos kerja. Selama tiga dekade terakhir, Cak Kandar menunjukkan secara tak sadar bahwa dirinya adalah pelaku seni yang tak pernah lelah, dengan pilihan kerja yang “lintas kategori” dan “lintas anggapan”. Kepada masyarakat senirupa Indonesia, ia membuktikan bahwa dirinya adalah seniman yang memiliki keyakinan seni, yang betapa pun mengundang kontroversi, tetap berjalan dengan keteguhan.
Ia semula mengenalkan sosoknya sebagai pelukis yang bisa disebut konvensional, dengan lukisan cat air atau cat minyak. Namun berekspresi lewat seni lukis yang “umum” ini agaknya kurang memuaskan kehidupan keseniannya dalam beberapa aspek. Seni lukis konvensional ini dianggap terlalu banyak dikerjakan banyak orang, sehingga dengan begitu acap terjadi perbenturan. Ia lalu memilih medium lain. Cak Kandar pun masuk dalam dunia seni lukis bulu unggas, seperti ayam dan aneka burung. Sebua jagad cipta yang secara jujur diakui, dirintis oleh Tom Hari, seorang seniman dari Solo.
Dengan lukisan bulu ayam ini dia berkiprah aktif. Sangat banyak pameran diselenggarakan, dan karya-karyanya pun mempesona masyarakat penggemar seni di dalam dan lar negeri. Presentasi lukisan bulu ayam yang unik itu memang segera menghentak darimedium apa saja. Atau melulu dari cat di atas kanvas belaka. ekplorasimedium inilah yang kemudian menghadirkan dalam sikap pecaya diri para pencipta seni di berbagai daerah untuk menciptakan lukisan dai bahan apa saja. Seperti lukisan dari daun pisang yang dikeringkan, komposisi potongan lidi atau serbuk kayu.
Perjuangan seni lukis bulu masih menyisakan pro dan kontra antara seni dan kerajinan. Bahkan ada yang menyatakan setengah seni dan setengah kerajinan. Apalagi ketika diketahui betapa di dalam prosesnya seni ini melibatkan banyak orang. Peristiwa ini nasibnya seperti lukisan batik Amri Yahya, Bagong Kusudihardjo, Mudjitha dan Abas Alibasyah, yang lantas dianiaya oleh kelompok tertentu sebagai “makhluk seni kelas dua”.
Tapi Cak Kandar tidak merasa harus terlalu peduli dengan anggapan yang melecehkan itu. Dia terus berjalan. Lantaran dia sudah berulangkali mempelajarinya,betapa karya-karya senirupa besar, dari karya mural Michelangelo sampailukisanlukisan Made Wianta, juga melibatkan orang lain dalam pengerjaannya. Ia tak ingin melawan frontal para pengritiknya. Bahkan Nashar, pelukis yang bersikukuh menganggap lukisa bulu bukan lukisan, adalah parring partner yang tiada terbilang jasanya.
“Saya percaya bahwa bagaimana pun senirupa melahirkan beda anggapan, senirupa tak akan memecah-belah kebersamaan,” katanya. Dan atas semua kritik itu, ia lebih memposisikan dri sebagai penimak yang baik, sambil menahan diri untuk tidak melakukan serangan baik. Intelligenti puuca, kata pelajaranLatin tua.Penyimak yang baik, tak memerlukan banyak kata. Oleh karena itu, atas senil ukis bulu ia terus saja maju.
“Namun terus terang, separuh dari hasrat saya mencipta lukisan bulu adalah untuk mencari uang. untuk menghidupi keluarga dan memberi penghidupan pada para penempel bulu,yang sudah bahagia dengan pekerjaan itu, ” kata Cak Kandar.
Maka, ketika menjelang masuk milenium ketiga, ketika anak-anaknya dirasa sudah mentas (bisa hidup sendiri) pelan-pelan dia tinggalkan dunia craft atau art craft yang melambungkan namanya itu. Ia masuk kembali ke dunia seni lukis cat minyak atau akrilik. Setelah mengangkat tema-tema manis seperti pemandangan alam lewat efek-efek cat yang seru dieksploitasi, ia lantas menggarap tema-tema kritik dunia seni budaya dan kritik sosial. Tema-tema kritik itu diambil dari isue-isue yang melintas di depan matanya dan berkembang dalam pikirannya.
Salahsatu contoh dari lukisan bertema kritik dunia seni budaya adalah karyanya yang berjudul Ambil Keputusan. Di sini dia menggambarkan dirinya sedang berpikir serius ikhwal kebudayaan Barat yang membentur kebudayaan Timur. Kebudayaan Barat dilambangkan dengan lukisan Guernica karya Piccaso. Sementara kebudayaan Timur disimbolkan lewat wayang kulit. Benturan, dalam jagad seni budaya, memang sempat menghadirkan polemik berkepenjangan. Yang substansinya mengkhawatirkan kikisnya kebudayaan (dan kesenian) asli Indonesia. Yang mana harus aku ambil? Kebudayaan Barat yang mengacu kepada progresif atau kebudayaan Indonesia yang cenderung konservatif.
Lukisan kritik sosial lainya yang menggoda adalah Wayang Telah Dimainkan. Di kanvasnya, Cak Kandar menggambarkan seorang dalang sedang menggerakkan wayang kulit. Ada Semar sang penasehat di sana. Ada keluarga Pandawa yang mendengar petuah Semar dengan seksama. Di depan dalang itu, di sekeliling wayang-wayang itu, jutaan manusia siap menontonnya. Dan di kejauhan nampak atap gedung DPR/MPR (Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat) Indonesia berdiri gagah sebagai latar belakang.
Adakah dalang itu sedang memberikan pengajaran, betapa sebaiknya para anggota DPR/MPR sebijak Semar dan bersikap satria seperti keluarga Pandawa. Atau, adakah ii harapan jutaan rakyat yang sering dikecewakan oleh kerja dan perilaku para wakilnya.
Cak Kandar telah memasuki periode barunya. Sebuah periode yang menunjukkan kegelisahan dan alam pikirian atas situasi yang ia hayati di tengah masyarakatnya. Periode penuh gelora yang justru muncul pada saat dirinya mulai mapan. Pada saat dirinya sesungguhnya sudah boleh duduk di kursi goyang sambil mengenang-ngenang jejak-jejak manis kehidupan.
Agus Dermawan T.
kritikus seni rupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar